Nikmatnya Jadi Pasutri Fantasi Terlampiaskan
Setelah makan langsung saja aku melepas pakaian dalamku dan aku taruh ke tempat pakaian kotor mungkin hanya itu yang tersisa hari ini soalnya semua pakaian dalamku juga beklum aku cuci terpaksa aku sekarang hanya memakai pakaian daster tanpa menggunakan pakaian dalam, giliran aku memakai daster suamiku sangat sumringah soalnya memang hampir setiap hari suamiku mas Faiz meminta jatah.
Pikirannya hanya ngentot , mesum, ngewe dan itulah pada diriku, sebagai istri aku hanya mengiyakan apa permintaan mas faiz dan melayani kehausan sex dia, Daster itu meluncur turun dengan cepat, dan langsung menampakkan kepolosan tubuh putih mulusku. Putingku telah ereksi, dan Vginaku juga mulai basah. Dikecupnya kening, pipi, hidung, leher dan bibirku.
Membuat aku gampang sekali naik hasratku, tak perlu menunggu terlalu lama untuk pemanasan. Langsung saja lidah kami bergulat. Tangan kiri mas Faiz mulai memelintir dan meremas putting payudaraku, dan tangan kanannya merogoh Vginaku dari depan.
Aku pun tak mau tinggal diam, aku raih Pnisnya yang sudah menegang dengan kedua tanganku dan aku kocok Pnis mas Faiz, naik turun dengan cepat.
“Vgina kamu cepet sekali basah dek… Kamu dah sange ya sayang?” tanyanya sambil tersenyum.
“Ya iyalah…. Siapa coba yang ga sange klo jari mas mengobok-obok Vgina adek kayak gitu..” Mas Faiz tersenyum, ia menatap wajahku yang sudah mulai memerah sayu.
Mas Faiz mendadak menghentikan gulat lidahnya, dan mengarahkan mulutnya ke payudaraku. HAP. Dia langsung mencaplok dada kananku. Disedotnya kuat-kuat, lidahnya menari lincah diatas putingku. Geli. Tak lama, mulutnya pun pindah ke payudaraku yang kiri. HOP.
“Annnnggg…” kali ini giginya ikut bermain, dengan menggigit perlahan puttingku yang mulai mengeras.
“Ouuuuwhh… sssshhhhh” Aku hanya bisa mendesis menerima semua perlakuannya.
“Mas, sekarang ya….” Bisikku lirih.
“Aku sudah tak tahan”. Mas Faiz mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tubuh bugilku dibalik menghadap ke arah meja makan dan ia mendekap tubuh mungilku dari belakang.
Walau sudah berubah posisi, kedua tangannya masih saja menggerayangi tubuhku. Tangan kiri meremas perlahan payudaraku, dan tangan kanan mencolokkan beberapa jemari gemuknya ke dalam Vginaku. Aku merasakan Pnisnya berada tepat di belahan bokongku, digesek-gesekkannya Pnis itu dengan penuh perasaan.
“Mas.. ayo…. Cepet Dimasukkin … Adek udah nggak kuat lagi….” rengekku memelas.
Mengerti akan hasratku yang tak bisa aku tahan lagi, mas Faiz lalu mendorong pundakku ke depan dan bertumpu pada meja makan.
“Lebarin kakimu dikit dek…. Nah gitu”
Aku terperanjat ketika merasakan, tangan kanan suamiku mencoblos perlahan Vginaku dari arah pantat.
“Pemanasan…” katanya menenangkanku.
Disodok-sodokkan jemari gemuknya beberapa kali di Vginaku. Cairanku membanjir. Dengan perlahan, mas Faiz mulai mengarahkan kepala Pnisnya kearah Vginaku. Digesek-gesekkan batang Pnis itu diluar bibir kemaluanku.
Ia berusaha melumasi seluruh batang Pnisnya dengan cairan Vginaku. Mas Faiz mengambil ancang-ancang. Kurasakan kepala Pnisnya di antara bulatan bokongku. Perlahan ia mulai mendorong batang Pnisnya dan mulai menyeruak masuk. Benda itu begitu hangat, kenyal namun keras.
Sambil tetap meremas-remas kedua dadaku dengan satu tangan, mas Faiz mendorong sedikit demi sedikit kepala Pnisnya.
“CLEP” kepala Pnisnya telah masuk.
“Uhh…” aku mendesah sambil memejamkan mataku rapat-rapat. Walau aku sudah terbiasa dengan ukuran Pnis mas Faiz, namun tetap saja, ada sedikit rasa nyeri yang timbul.
Mas Faiz menggeser-geser posisi tubuhku, mencoba membuatnya menjadi lebih mantap ketika kami bersetubuh. Perlahan, batang Pnisnya mulai ia dorong masuk ke Vginaku.
Aku merasakan denyut-denyut pelan yang membuat organ kewanitaanku semakin membanjir basah. Sedikit demi sedikit, sampai batang sepanjang 16 cm itu benar-benar hilang ditelan organ kewanitaanku.
“Mmmmm…mas….” Suaraku gemetar menahan nafsuku.
“Kenapa dek…? Enak…?” mas Faiz mengecup punggungku ketika melihat aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
Saking nafsunya, cairan Vginaku menjadi tak terbendung, karena aku merasakannya mulai turun, mengalir ke arah pahaku.
“CLEK… CLEK… CLEK… “ mas Faiz mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur, mengaduk dan menusukkan batang Pnisnya dalam-dalam, semakin lama semakin cepat.
“PLAK… PLAK… PLAK…” Suara tubuh kami ketika saling bertabrakan.
“CREEK…CREEK…CREEK…” Meja makan yang aku buat sebagai tumpuan tubuhku juga perlahan mulai bergerak, tiap kali pinggul mas Faiz menabrak pantatku.
Kaki mejanya berderit-derit, tergeser oleh gerakan liar kami berdua.
“DUG… DUG… DUG…” Suara bibir meja ketika menabrak tembok dan desahan suara kami memenuhi ruang makan yang sempit ini.
“Enak dek…?” tanyanya dari arah punggungku sambil terus meremas payudaraku.
Saking enaknya, aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, tersenyum mendesis sambil mengangguk-anggukan kepalaku. Mulut mas Faiz tak henti-hentinya mengucapkan kata
“Aku sayang kamu dek” tiap kali ia memompa Pnisnya diliang Vginaku.
Terkadang ia mengecup dan menjilat punggungku. Aku hanya bisa menundukkan kepala sambil melenguh keenakan, merasakan tusukan-tusukan tajam Pnis mas Faiz. “Pagi hari yang berisik… “ pikirku tiap kali kami bersetubuh.
Karena memang benar, kami adalah pasangan yang tidak bisa diam, selalu bercinta tiap kali ada kesempatan. Tak peduli akan waktu, tempat ataupun situasi. Oleh karenanya aku panggil suamiku tikus hutan, karena nafsunya mirip dengan aktivitas makhluk kecil itu, hanya bercinta dengan pasangannya sampai dia mati.
Gelombang kenikmatan itupun perlahan datang. Jantungku bercetak semakin cepat, nafasku memberat, siap menyambut orgasme pertamaku di pagi hari ini.
“Shhhh… Aku mau keluar mas…ayo… tusuk Vgina adek lebih dalam…” kataku menyemangatinya.
Tanpa menunggu perintahku untuk yang kedua kalinya, mas Faiz semakin mempercepat sodokannya.
Tubuhku terhentak-hentak dengan keras, tiap kali menerima sodokan Pnis mas Faiz. Pnisnya terasa begitu cepat, keluar masuk dengan ritme yang semakin cepat. Meja makan tempat aku menyandarkan tubuhku pun sepertinya ikut merasakan dorongan brutal mas Faiz, berderit dengan keras dan menabrak tembok seiring desahan kenikmatan kami berdua.
“Shhh…ayo mas… aku sudah dekat.. aku mau keluar …. Ssshhhh…” erangku kepada suamiku. Dengan tangan kiri yang masih menopang badanku, aku pegang pantatnya dengan tangan kanan.
Aku gerak-gerakan pantat semok itu kearahku, berharap mas Faiz semakin mempercepat goyangannya.
“Mas…ayo…. sodok aku dengan keras… tusuk aku dengan tititmu… aku mau keluar mas…”
Di tengah-tengah pendakian kami ke puncak gunung kenikmatan. Tiba-tiba mas Faiz menghentikan sodokannya. Dia terdiam, menusukkan Pnisnya dalam-dalam ke arah Vginaku, dan….
“Aaahhhhhhkkkkk……… ahhhh… ahhhh… “ mas Faiz berteriak lirih.
Gumpalan cairan hangat langsung memenuhi rongga rahimku. Tak begitu banyak, namun cukup membuat liang rahimku agak sedikit penuh.
Mas Faiz mendorong tubuh gemuknya ke arahku dengan brutal tiap kali Pnisnya memuntahkan lahar panasnya. Sampai aku merasa sakit pada bagian paha depanku yang terkena bibir meja.
6 kali sodokan keras aku terima pada Vginaku ketika suamiku ejakulasi, sebelum akhirnya ia merubuhkan tubuhnya ke arahku. Berat sekali. Nafasnya tersengal-sengal.
“Aku sayang kamu dek…” ucapnya sambil mengecup bagian belakang leherku.
“Iya.. Aku juga sayang kamu mas” jawabku lirih.
Sebenarnya ada rasa kesal karena aku masih belum mendapatkan orgasmeku. Sekali lagi, mas Faiz gagal memberiku kenikmatan yang telah lama aku inginkan. Tidak sampai 5 menit dia sudah terpuaskan, mas
Faiz selalu saja begitu, terlalu cepat ejakulasi.
“Mas… aku masih pingin… ayo ngewe lagi… ayo mas…” kataku.
“Aduh… mas dah terlambat dek… ntar malem ya kita sambung lagi…” elaknya.
Selalu saja, kata-kata itu yang menjadi alesan. Mas Faiz memeluk tubuh telanjangku sambil tersenyum penuh kepuasan. Sebagai istri yang harus selalu patuh, aku harus menyembunyikan rasa ketidakpuasanku.
Aku harus bisa ikut tersenyum melihat kepuasan yang terpancar dari wajahnya, dan membiarkan kehausan nafsuku hilang dengan sendirinya. “PLOP” Aku masih merasakan kedutan pelan di dinding Vginaku ketika batang Pnis mas Faiz yang telah lemas, jatuh keluar dengan sendirinya.
Sekarang Pnis itu menggelatung tak berdaya di luar bibir Vginaku. Meneteskan lendir kenikmatan kami berdua di belakang paha dan betisku.
“Dek, aku berangkat dulu, khawatir ketinggalan angkutan… dah siang nie” kata mas Faiz sambil mengangkat badan lebarnya dari punggungku.
Dia menepuk pantat semokku dan balikkan badanku yang masih tengkurap diatas meja makan. Aku sekarang dalam posisi telentang, menatap langit-langit rumah kontrakanku. Dengan kaki yang menjuntai di tepi meja makan. Mas Faiz tiba-tiba mencium Vginaku dan menyeruput cairan yang keluar dari Vginaku.
“Hayo… kamu lupa ya dek?” tanyanya sambil tertawa.
“HahahaHAHA.. geli mas… geli…iya iya…adek inget….” Jawabku berusaha menjauhkan mulutnya dari selangkanganku.
Memang sudah menjadi kebiasaan, jika setelah kami bersetubuh, aku selalu membersihkan seluruh batang Pnisnya dengan mulutku.
Aku segera bangun, turun dari meja makan dan langsung berjongkok di depan selangkangan suamiku. Akt raih batang Pnisnya yang menggelantung lemas itu, dan aku jilat perlahan. Kuhirup dalam-dalam aroma kewanitaanku yang bercampur dengan spermanya.
Sejak pertama kali kami bersetubuh, aku memang suka sekali meminum sperma, teksturnya mirip dawet, minuman khas dari pulau jawa yang terbuat dari campuran gula merah dan santan kelapa, terlebih lagi aromanya, mirip aroma daun pandan.
Kubuka mulutku lebar-lebar, lalu aku masukkan seluruh batang Pnisnya. Aku kecap, hisap dan urut batang Pnis lemasnya dengan mulutku. Berharap Pnis itu bisa tegang kembali. Namun setelah beberapa menit aku oral, sama saja, Pnis itu tetap menggelayut lemas.
“Nah…..Dah bersih mas…” kataku. “Dah… sana berangkat kerja…”
Mas Faiz menyuruhku berdiri, dan sekali lagi, ia kecup keningku. “Kamu yakin? Nggak mau menunggu besok Minggu buat mengerjakan semua pekerjaan rumah ini…? Kamu mau mengerjakannya semua ini sendirian? Jangan terlalu capek ya istriku sayang” tanyanya begitu mengkhawatirkanku.
“Iye baweeeeel… aku yakin… dah ah… jangan menganggap aku cewek manja seperti dulu… aku dah berubah… sana buruan berangkat” kataku pada suamiku tercinta.
Dengan tubuh telanjang bulat dan Vgina yang masih meneteskan cairan kenikmatan kami berdua, lalu aku antar mas Faiz ke pintu depan sambil bergelayutan manja dipundaknya.
“Dah ah… sana buruan pakai dasternya… ntar ada orang yang ngliat loh…” kata suamiku.
“Ah.. kagak ada yang bakalan ngeliat mas… khan rumah kita paling tertutup…”
“Berani yaaaa……. “ Kata mas Faiz sambil mencubit pantatku..
“He he he… Iyeeeee….”
Diciumnya kening dan bibirku tuk terakhir kali, dan tak lupa salam berangkat kerja andalannya. Meremas kedua belah dadaku, memelukku dari depan dan menepuk keras-keras kedua bongkahan pantat semokku.
“Salam sayang buat mimi imutku… jaga baik-baik ya dek” katanya sambil tersenyum manja.
“Jaga juga dedenya… jangan diapa-apain sampai ntar malam kamu pulang ya mas” sambungku.
Mimi dan Dede adalah panggilan sayang kepada alat kelamin kami masing-masing.
Mas Faiz melambaikan tangan, dan melangkah menjauh meninggalkan aku sendirian di rumah kontrakan baruku ini.
Mas Faiz, suamiku, berumur 32 tahun, berpostur agak gemuk, 170cm/90kg, dan berkulit putih mirip denganku. Dia baru saja diangkat jabatan menjadi seorang pengawas lapangan disebuah Perusahaan Pengeboran Minyak Internasional.
Mas Faiz adalah seseorang yang bijaksana dalam pengambilan keputusan, pandai dan penuh dengan perhitungan.
“Bukannya pelit dek… tapi khan lumayan… kita bisa menghemat uang jutaan rupiah perbulan loh kalo tinggal di rumah ini… daripada aku harus menyewa rumah mewah dekat kantor… toh beda jaraknya cuma 1 jam…” itulah kalimat yang selalu di ulang-ulang ketika aku sedikit ngambek karena keputusannya mengambil rumah yang
“jauh dari peradaban ini”.
Rumah kontrakanku adalah rumah petak, yang terbagi menjadi beberapa bagian, teras, ruang tamu, ruang tidur, dapur, kamar mandi dan halaman belakang untuk cuci dan jemur. Aku dan suamiku kebagian rumah paling ujung. Rumah yang paling jauh dari pintu masuk komplek kontrakan, namun memiliki ukuran paling besar diantara rumah kontrakan yang lain.
“Hari yang cerah untuk memulai aktifitas” kataku dalam hati.
Aku ambil daster kecilku yang teronggok di kaki meja makan lalu aku mulai mengenakannya lagi melalui atas kepalaku. Malas sekali rasanya ketika aku mulai mengenakan dasterku. Sepertinya sangat nyaman jika bisa hidup seperti kaum nudis yang tak perlu repot-repot menggunakan selembar bajupun ketika beraktifitas.
Kubawa piring dan gelas kotor ke dapur, aku letakkan di dalam bak pencucian. Aku pandang tumpukan cucian kotor yang sudah lama teronggok dan mulai mengeluarkan bau tak sedap di sudut kamar mandi.
“Sabtu ini akan menjadi hari yang melelahkan. Ayo Liani, kamu pasti sanggup menjalani ini semua” aku menyemangati diriku sendiri dan mulai mengerjakan pekerjaan rumahku itu.
Aku harus bisa menjadi istri yang bisa diandalkan oleh suamiku. Menyapu, mengepel dan mencuci piring bisa aku lakukan dengan cepat. Namun ketika aku akan memulai mencuci tumpukan baju kotor, langsung terbayang betapa lelahnya tubuhku nanti malam. Ternyata menyeret bak cucian basah itu begitu susah, berat, dan licin. Perlu tenaga ekstra untuk bisa memindahkannya ke dari kamar mandi ke halaman belakang.
“Lagi mau nyuci mbak?” Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara seorang pria.
Celingukan aku mencari asal suara itu.
“Banyak juga cuciannya mbak… dah berapa minggu tuh baju-baju nggak dicuci?” tambahnya lagi.
Ternyata suara itu berasal dari penghuni rumah kontrakan di samping tempat aku tinggal. Mas Manto, begitu tetanggaku biasa memanggilnya, adalah seorang satpam yang bekerja di perumahan dekat komplek kontrakan tempat aku tinggal.
Selama aku tinggal disini, baru pertama kali ini aku melihat seperti apa bentuk suami mbak Narti sebenarnya. Mas Manto berumur sekitar 40 tahunan. Posturnya mirip dengan suamiku namun agak kurus 170cm/60kg dengan kumis tipis yang dipotong rapi diatas bibir tebalnya.
Kulitnya coklat kehitaman dengan rambut kriting pendek. Sedangkan istrinya, Mbak narti, berusia 35 tahunan, berperawakan gemuk dengan payudara yang meluap-luap, khas badan ibu-ibu, adalah seorang pelayan toko yang juga bekerja pasar dekat komplek rumah kontrakan kami.
“Iya…” jawabku sekenanya. “Dah hampir 2 minggu nie belum diapa-apain….” tambahku lagi.
Sebenarnya aku sudah mengenal siapa mas Manto, karena hampir setiap hari aku melihatnya berangkat kerja, tapi selama aku dan suamiku tinggal di rumah kontrakan ini, belum pernah sekalipun aku bercakap-cakap. Hanya kenal sebatas sapa dan cerita saja.
“Saya Manto mbak…suami si Narti..” katanya lagi sambil menjulurkan tangan.
“Mmm… Nama saya Liani… “ jawabku sambil menyalami tangannya.
Langsung saja tubuhku merinding begitu menyentuh tangan mas Manto. Tangan itu begitu dingin, hitam, dan keriput, sangat kontras dengan tanganku, putih, mulus. Entah kenapa, begitu aku melihat wajah dan postur tubuhnya, aku langsung terbayang akan cerita-cerita pemerkosaan sadis yang menimpa kepada para perantau di tanah orang.
Apalagi saat itu aku hanya mengenakan daster pendek tanpa baju dalam sama sekali. Memamerkan kaki panjang dan belahan dadaku.“Mas Faiz kerja mbak?” tanyanya lagi, membuyarkan lamunanku.